Bencana di Depan Mata, 2023 Jadi Tahun Terpanas Bumi

Foto : Ist

Jakarta, Landasan.id – Tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. Pemantau iklim Uni Eropa (UE), Copernicus Climate Change Service (C3S) mencatat peningkatan suhu permukaan bumi hampir melewati ambang batas kritis 1,5 derajat Celcius.
“Suhu pada tahun 2023 kemungkinan besar melebihi suhu pada periode mana pun setidaknya dalam 100 ribu tahun terakhir,” ujar Wakil Kepala Layanan Perubahan Iklim Copernicus Samantha Burgess, melansir AFP.

Copernicus bahkan meramalkan bahwa periode 12 bulan yang berakhir pada Januari atau Februari 2024 akan ‘melebihi 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri’.

Sepanjang 2023, rekor dipecahkan di setiap benua. Di Eropa, misalnya, tahun 2023 merupakan tahun terpanas kedua yang pernah tercatat.

Tahun 2023 juga menjadi awal fenomena El Nino. Fenomena ini membuat perairan di Pasifik selatan menghangat dan memicu cuaca yang lebih panas di luarnya.

Fenomena ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2024. Rekor suhu panas tertinggi diprediksi akan terjadi selama delapan bulan berturut-turut dari Juni hingga Desember.

Tak cuma itu, suhu laut secara global juga terus meningkat sepanjang 2023. Hal ini dilihat dari banyaknya rekor musiman yang dipecahkan sejak bulan April.

Selama hampir setengah tahun ke belakang, para ilmuwan memantau bahwa kenaikan suhu hampir melampaui batas. Jika batas itu terlewati, maka dampak iklim akan semakin parah dan menjadi bencana besar.

Ilustrasi. Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas bumi. (REUTERS/LEONHARD FOEGER)
Berdasarkan laporan Copernicus, perubahan iklim ini memperparah gelombang panas, kekeringan dan kebakaran hutan di seluruh dunia, serta mendorong kenaikan suhu global.

Misalnya saja, kebakaran besar yang melanda Kanada, kekeringan ekstrem di kawasan Tanduk Afrika dan Timur Tengah, gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya di Eropa, Amerika Serikat, dan China, serta rekor suhu hangat musim dingin yang mencapai rekor tertinggi di Australia dan Amerika Selatan.

“Peristiwa seperti ini akan terus bertambah buruk sampai kita beralih dari bahan bakar fosil dan mencapai emisi nol,” ujar ahli perubahan iklim di Reading University Profesor Ed Hawkins. Ia tidak ikut berkontribusi dalam laporan tersebut.

Temuan Copernicus ini muncul satu bulan setelah kesepakatan iklim dicapai pada pertemuan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir 2022 lalu. Kesepakatan itu menyerukan transisi bertahan dari bahan bakar fosil sebagai biang kerok utama perubahan iklim.

Sumber : CNN Indonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *